Di Bawah Bayang-Bayang Golput


Opini terbit :www.goriau.com – Di Bawah Bayang-Banyang Golput

KOMPASIANA.COM-GOLPUT

Foto diambil : kompasiana.com

Sikap apatisme masyarakat dalam menyampaikan hak politik mereka dalam bentuk menyampaikan aspirasi suara ketika pemilu merupakan akumulasi dari kekecawaan masyarakat terhadap ketidakbecusan para pemangku kekuasaan dalam mengurus Negara ini.

Indonesia sekarang sedang hami tua. Prosespemilihan umum legislative  sedang memuncak dan tak lama lagi, rakyat Indonesia akan membidani lahirnya calon-calon wakil rakyat yang akan menentukan nasib Indonesia lima tahun kedepan.

Sementara, gegap gempita iklan politik sudah menyeruak diruang public atas nama channel televisi. Hampir setiap saat iklan televisi secara teratur membanjiri setiap saluran televisi yang ada di Indonesia. Iklan partai politik tersebut bertujuan meraup simpati masyarakat melalui pesta demokrasi yang dilaksanakan sekali lima tahun atau akrab disebut dengan Pemilu.

Pemilu memang mekanisme yang harus dijalankan ketika kita menganut paham demokrasi dalam sistem bernegara. Melalui Pemilulah masyarakat secara langsung terlibat dalam mengatur Negara dengan cara memilih wakil-wakil rakyat yang akan menahkodai jalannya Negara untuk lima tahun mendatang.

Namun sepanjang perjalanan Indonesia dalam menata sistem demokrasi,  ada perkara urgen yang selalu membayang-banyangi jalannya perhelatan akbar tersebut. Perkara itu  adalah masalah golput atau golongan putih. Golongan putih selalu menjadi permasalahan yang sudah turun temurun dari beberapa penyelenggaraan pemilu yang pernah ada di Indoensia bahkan jumlahnya dari pemilu ke pemilu menunjukan tren naik. Bayangkan saja pemilu tahun 2004 jumlah golput sebanyak 34,5 juta jiwa atau sebesar 23,34 persen. Pada Pemilu tahun 2009 angka golput merangkat naik dan bertengger pada posisi 49,6 juta jiwa dari 121,59 juta pemilih atau sebanyak 40 persen, bahkan beberapa survey menunjukan akan adanya tren peningkatan angka golput pada pemilu 2014, lantas ada apa dengan golput? Kenapa orang harus memilih golput?, sejujurnya ini adalah permasalahan yang harus dijawab oleh Negara.

Golput dan Krisis Multidimensi

Ada benarnya ketika orang mengatakan bahwa golongan putih (golput) adalah pilihan, yaitu memilih untuk tidak memilih. Banyaknya angka golput yang semakin tahun semakin meningkat bukan tidak beralasan. Sikap apatisme masyarakat dalam menyampaikan hak politik mereka dalam bentuk menyampaikan aspirasi suara ketika pemilu merupakan akumulasi dari kekecawaan masyarakat terhadap ketidakbecusan para pemangku kekuasaan dalam mengurus Negara ini. Dari survey yang dilakukan Majalah Tempo edisi 2 Maret 2014 ada beberapa factor yang menyebabkan tingginya angka golput di Indonesia, yaitu;

Pertama, 70 persen masyarakat tidak percaya kepada tokoh dan partai politik yang ada sekarang. Menyimak fenomena yang ada hamper 90 persen calon legislator yang ikut bertarung pada pemilu mendatang adalah masih wajah-wajah lama yang wanprestasi. Tingginya angka korupsi yang meilbatkan tokoh dan actor politik memberikan sumbangan besar kepada apatisme masyarakat dalam menyampaikan hakpilihnya dalam pemilu mendatang.

Kedua, 25 persen masyarakat merasa tidak ada perubahan nyata ketika berpartisipasi dalam pemilu. Tidak adanya perubahan yang berarti dirasakan oleh masyarakat dari mengikuti pemilu dari tahun ketahun berkontribusi tingginya angka golput dari tahun ke tahun. Orang-orang yang dipilih yang notabenenya wakil masyarakat sejatinya memperjuangkang hak dan masib masyarakat yang diwakilinya namun kenyataanya tidak sesuai dengan harapan yang ada. Sudah menjadi hiasan layar televisi hari ini bahwa wakil rakyat yang bermarkas di gedung rakyat hari ini mayoritas terbelit dengan berbagai skandal korupsi maupun skandal lainnya, ini jualah yang membangun pradigma masyarakat untuk memutuskan apatism dalam memili pada setiap pemilu yang ada.

Ketiga, Permasalah yang selanjutnya adalah berkutat pada sitem Daftar Pemilih. Karut marutnya sistem daftar pemilih memang tidak menjadi rahasi umum lagi, namun Indonesia sebagai Negara yang berkembang dan mencari format yang cocok dalam menjalankan sistem pemerintahan yang ada tentunya sistem daftar pemilih ini menjadi PR bagi penyelenggara pemilu. Ditengah proses dinamika tersebut secara penyelenggaraan semakin hari semakin menunjukan perbaikan dalam segala hal.

Keempat, Alasan masyarakat Indonesi untuk memilih Golput ada mengikuti kata orang tua. Ini biasanya terjadi pada Pemilih Pemula. Wajah ada artikel yang menuliskan bahwa suara orang tua adalah suara pemili pemula. Gagalnya Partai politik dalam melakukan pendidikan politik juga memberikan kontribusi yang sangat berpengaruh kepada tingkat partisipasi masyarakat dalam menyampaikan hak pilih mereka di setiap pemilu yang pernah diselenggarakan.

Kelima, Faktornya memang bersumber pemilih itu sendiri. Ada sebagian pemilih yang memang memilih untuk selalu golput dalam pesta demokrasi yang ada. Ini juga tak luput dari kurangnya partai politik dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan politik.

Harapan Itu Masih Ada

Ditengah hiruk pikuk kaum golput yang selalu merong-rong pesta demokrasi kita, masih tersimpan sejuta harapan untuk mewujudkan Indonesia untuk lebih baik lagi. Mewujudkan Indonesia lebih baik lagi bisa dengan cara menyalurkan hak polik kita dalam pemilu dan memilih para calon yang betul-betul memiliki kredibilatas, integritas dan pro kepada rakayat. Wakil Rakyat yang berani mengatakan tidak kepada partai ketika ada instruksi partai yang akan berefek kepada masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Wakil rakyat yang berani melawan glamoritas seperti apa yang dipertontonkan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk hari ini. Harapan untuk Indoensia lebih baik itu masih tetap ada selama masyarakat memiliki perhatian khusus dalam hal pemilihan legialtif nanti. Salam Memilih.

Assyari Abdullah, S.Sos. 

Mantan Informoation, Education and Communication Specialist

PNPM Mandiri Perdesaan Provinsi Kepulauan Riau                  

                                                                 

Posted on 26 Februari 2016, in OPINI PUBLIK, Uncategorized and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar