Antara obama Indonesia dan Palestina


oleh

Assyari Abdullah

(Ketua HMJ Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau)

copy-lagim-copyBarack obama, itulah sebuah ungkapan yang selalu menghiasi pemberitaan media dalam kurun waktu bebarapa minggu belakangan ini. barack Obama telah terpilih sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat. Kemenangan laki-laki kelahiran Hawaii yang pernah menghabiskan empat tahun masa kecilnya di Indonesia itu adalah catatan baru dalam sejarah panjang Amerika Serikat. Bahkan dalam catatan dunia Inilah kali pertama Amerika Serikat memiliki presiden berkulit hitam keturunan Afro-Amerika.
Obama yang berhasil unggul dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, 4 November 2008 silam seolah olah membawa angin segar terhadap keberlangsungan kehidupan di dunia ini dengan misi anti perang dan memciptakan perdamaian dunia membuat milyaran penduduk bumi menaruh harapan yang sangat besar kepada obama, apakah ini hanya sekedar jurus ampuh untuk menguasai gedung putih atau memang sebuah niat ynag tulus dari seoarang obama.
Arti bagi Indonesia
Tidak dapat dipungkiri Memang banyak warga negara Indonesia yang menginginkan senator ini memenangkan pemilihan. Para pendukungnya menganggap Obama akan menjadi presiden yang memperhatikan kepentingan Indonesia dalam politik internasional. Pengalaman pernah tinggal di Indonesia dan mencicipi pendidikan ala indonesia diyakini akan membuka mata Obama tentang realitas masyarakat Indonesia dan dunia yang beragam, apalagi ditambah dengan statement dalam pidato kemenangannya, Obama tigak segan menyapa semua warga Amerika: yang berkulit putih maupun hitam, yang perempuan maupun laki-laki, para agamawan, ilmuan , dan seterusnya. “Kita semua adalah warga Amerika Serikat,” tegas Obama.
Dengan cara pandang semacam ini, tampak bahwa Obama tidak akan memberi toleransi terhadap praktik-pratik diskriminasi dalam bentuk dan dengan latar belakang apapun. Dia tidak akan mudah melakukan praktik yang sebetulnya selalu menjadi ancaman bagi eksistensinya sebagai kelompok minoritas kulit hitam Amerika. Yang membedalan pemerintahan Bush dan Obama adalah bahwa Bush menerapkan cara pandang dualisme: di mana dunia di luar Amerika dianggap sebagai objek yang harus diubah sesuai dengan cara pandang masyarakat Amerika. Dunia ini, bagi Bush, harus di”adab”kan, apapun caranya, dan itu adalah sesuatu yang baik. Latar belakang Obama sebagai minoritas akan membuatnya lebih bisa menyadari akan adanya keragaman
Tetapi suatu hal yang perlu dicatat bahwa Terlalu dini jika kemudian kita simpulkan bahwa dengan bekal pengetahuan mengenai realitas Indonesia, Obama kemudian akan mengeluarkan kebijakan yang mendukung kebijakan pemerintah negeri ini. Pemerintah Indonesia justru seharusnya waspada kepada Obama mengingat beberapa kebijakan dalam negeri yang belum sesuai dengan garis haluan cita-cita Obama untuk menghapus diskriminasi.
Dalam banyak kasus, Indonesia terlihat belum cukup memuaskan dalam penanganan isu-isu penghapusan diskriminasi. Beberapa kasus besar pelanggaran hak azasi manusia yang melibatkan rezim pemerintah masih terlalu jauh dari penyelesaian: kasus pembantaian anggota PKI 1960-an, represi Orde Baru terhadap kelompok Islam, kekerasan Timor Timur, pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, penculikan dan pembunuhan aktivis di akhir 1990-an, pembunuhan aktivis HAM Munir
Pada aspek pembangunan, pemerintah Indonesia jelas melakukan diskriminasi pembangunan. Pemerintah seolah tertutup pintu hatinya untuk memfokuskan pembangunan pada masyarakat Indonesia bagian Timur yang sejak lama tidak bisa menikmati akses pembangunan. Masyarakat Indonesia bagian Timur dibiarkan tenggelam dalam keterbelakangan dan kebodohan. Akibatnya, seluruh paradigma berpikir pemerintah selalu terpaku pada cara pandang masyarakat Indonesia bagian Barat bisa bisa ini membuat obama benci dengan Indonesia karena melihat realiata Indonesia yang banyak memberikan sinyalemen terjadi nya praktek diskriminasi
Obama dan harapan hampa Palestina
Membaca pidatonya di hadapan tujuh ribu hadirin pada konferensi tahunan American Israel Public Affairs Committee (AIPAC)—sebuah kelompok lobi Israel paling berpengaruh—sehari setelah mengamankan nominasi, kita tidak menemukan perbedaan signifikan antara Obama, kandidat yang dicitrakan progresif, pro-perubahan, dan anti-perang, dengan para rivalnya, seperti Clinton, John McCain, dan bahkan George W. Bush dalam konteks kebijakan terhadap Timur Tengah, khususnya Palestina.

Ia berbicara tentang Israel seolah-olah negara itu adalah domba di tengah kawanan serigala. Obama sepertinya lupa bahwa negara itu didirikan enam dekade silam lewat serangkaian aksi genosidal yang mengusir jutaan penduduk asli Palestina.

Tak satu patah kata pun terlontar dari mulut Obama tentang orang-orang Palestina yang hidup dengan tank, buldoser, senapan, dan mortir Israel sebagai menu sehari-hari mereka. Tak pula terdengar simpati Obama kepada kondisi kehidupan ratusan ribu penduduk Gaza yang hidup dalam dingin dan gelap, karena apa yang disebut B’Tselem sebagai “kebijakan berdarah dingin Israel” telah menghancurkan satu-satunya pembangkit listrik di Gaza; atau kepada para pasien Palestina yang tak tertolong karena tidak diizin­kan melintasi Erez; atau kepada para buruh Palestina yang menganggur dan anak-anak yang tak bersekolah karena pos-pos pemeriksaan Israel membuat perjalanan empat jam harus ditempuh seharian.

Namun, Obama cukup sensitif kepada sisi kemanusiaan ketika menceritakan pengalamannya melihat sebuah rumah warga Israel yang rusak karena roket-roket rakitan pejuang Palestina. Sayangnya, Obama tidak sensitif dengan ratusan rumah rakyat Palestina yang diratakan dengan tanah demi membangun pemukiman-pemukiman Yahudi, yang telah divonis ilegal oleh Mahkamah Internasional.

Obama bersumpah untuk mendukung sebuah “Yerusalem yang tidak terbagi” tetapi sayang ia akan ‘menghadiahkan’ kota suci itu ke tangan rezim yang mencurinya pada 1967. Tak satu pun negara di dunia ini yang mengakui aneksasi Israel atas Yerusalem karena semuanya, termasuk Amerika Serikat sendiri, tidak ingin dianggap mengabaikan Resolusi PBB 181 yang menetapkan Yerusalem sebagai kota internasional. Tak satu pun pemimpin Palestina, termasuk Fatah, dan yang akan berdamai dengan Israel tanpa Haram asy-Syarif, tempat suci ketika Muslim dan simbol nasionalisme Palestina, dimasukkan ke dalam bagian kedaulatan Palestina.

Tak lupa, Obama pun tetap menjanjikan keberlanjutan bantuan 30 milyar dolar demi membantu Israel mempertahankan diri terhadap serangan dari Tehran hingga Gaza, seolah warga Gaza yang kelaparan itu tengah membangun rudal-rudal balistik antarbenua.

Memang naif mengharapkan seorang Obama melancarakan kritik terhadap Israel dan mendudukan persoalan Palestina secara jujur dalam forum AIPAC. Obama hanya melakukan apa yang ia harus lakukan agar dapat terpilih, dan akan terus melakukan hal itu sepanjang memastikannya tetap berada dalam kekuasaan.

Barack Obama bukanlah politisi bodoh. Ia tahu benar kelemahannya (hubungannya dengan Muslim, nama tengahnya, dan jejak kedekatannya dengan para pemimpin komunitas Arab di Chicago) sekaligus sangat sadar akan dua hal yang menggerakkan mesin politik Amerika: media dan uang.
Keduanya kini dimiliki oleh ja­ringan lobi Israel dengan AIPAC sebagai intinya. Meskipun kaum Zionis Amerika adalah minoritas di komunitas Yahudi Amerika tetapi mereka militan dan terkonsentrasi di negara-negara bagian yang jumlah delegasi dan suara elektoralnya tinggi).

Mereka kerap menyumbang dana kampanye di luar proporsi yang wajar jika dibandingkan dengan jumlah suara konstituen Yahudi yang hanya 2% dari populasi AS. Dalam pemilihan pendahuluan saja, tim pendanaan kampanye Obama yang diketuai Penny Pritzker—seorang Zionis liberal yang berasal dari keluarga pemilik jaringan hotel ternama di dunia—mampu mengumpulkan dana 272 juta dolar; sebuah kekuatan finansial yang kini membuat ketar-ketir kubu McCain.

Mereka pun memiliki figur-figur kunci yang bisa membentuk opini publik, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kandidat-kandidat dengan nilai minus dalam hal dukungan bagi Israel , seperti Ron Paul dan Dennis Kucinich, dengan cepat terkucilkan dari media.

Posted on 5 Februari 2009, in ARTIKEL LEPAS. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar